
Setelah bertahun-tahun bersua di kasta kedua, Persis Solo dan PSIM Yogyakarta akhirnya kembali berjumpa di panggung tertinggi sepak bola Indonesia. Derbi Mataram yang selama ini hidup lewat cerita nostalgia era perserikatan, kini kembali tersaji dalam laga resmi di BRI Super League. Secara klasemen, kedua tim memang berada di orbit yang berbeda. PSIM Yogyakarta meretas asa di papan atas, sementara Persis terjerembab di papan bawah. Statistik kedua tim menjelaskan ketimpangan performa, tetapi dalam laga derbi yang identik dengan pertaruhan harga diri, angka-angka itu hanya seperti dekorasi.
Baca Juga: Singgung Pentingnya Duel Kontra PSIM, Tithan Suryata: Mataram Is Red
Derbi Mataram memikul selaksa makna luhur. Bagi kedua klub, laga ini menjelma kawah candradimuka perebutan tahta sepak bola di Bumi Mataram. Sementara itu, bagi kedua basis suporter, laga ini menjadi pengekal ‘kiblat baru rivalitas suporter’. Ya! Suporter Solo dan Yogyakarta—yang memiliki kultur solid, loyal, dan progresif—kuasa menyongsong segala dinamika relasi persuporteran dengan sikap positif. Dalam menyikapi Tragedi Kanjuruhan, misalnya, suporter Yogyakarta dan Solo sepakat untuk merefleksikannya sebagai tonggak perdamaian suporter.
Tiga hari pasca-Tragedi Kanjuruhan—tatkala awan mendung masih menggelayut di kancah persepakbolaan nasional—puluhan ribu suporter PSIM Yogyakarta, PSS Sleman, dan Persis Solo melebur menjadi satu di area Stadion Mandala Krida, Kota Yogyakarta (4/10/2022). Para suporter melaksanakan Salat Gaib dan doa bersama untuk korban Tragedi Kanjuruhan. Usai acara, para suporter bersama-sama menyanyikan anthem Aku Yakin dengan Kamu, Sampai Kau Bisa, dan Satu Jiwa. Sebentuk reaksi ‘spontan’ yang memaktubkan kearifan dan keluhuran. Dengan tajuk ‘Mataram is Love’, ketiga basis suporter menyepakati satu babak baru dalam kultur dan rivalitas fans.
Rivalitas suporter Solo dan Yogyakarta tetap kental dengan nuansa ‘adu urat saraf’, baik di dunia nyata maupun maya. Di arena padang, keduanya juga berpotensi terus baku-olok dan saling melontarkan psywar. Namun demikian, rivalitas panas ini memiliki batasan yang jelas dengan menjunjung nilai-nilai baru yang bajik lagi bijak: tidak ada lagi sweeping atribut lawan dan/atau plat nomor kenderaan; tidak ada lagi perusakan fasilitas, pelemparan botol, dan penyerangan bus, serta; tidak ada lagi tawuran barbar yang mengancam korban jiwa.
Di Sleman, kultur dan kode etik suporter dikukuhkan dalam sebuah manifesto. Sementara dalam entitas suporter yang berwujud organisasi, arah gerak suporter dibakukan dalam anggaran dasar dan arah rumah tangga. Nilai-nilai dan kultur tribune juga dapat terbentuk secara organik atau pun dari hasil permufakatan para penghuni tribune. Kultur fans di Solo dan Yogyakarta juga telah menginisiasi hal-hal progresif, seperti: mewujudkan stadion ‘ramah anak’, mengondisikan tribune tanpa asap rokok, memfasilitasi penyandang disabilitas untuk merasakan atmosfer stadion, dan menentang keras pelecehan seksual (catcalling) di stadion.
Di banyak wilayah, rivalitas masih berjalan di lorong gelap. Ejekan bernada permusuhan, sweeping atribut, hingga kekerasan fisik masih menjadi “bumbu” purba yang sulit ditinggalkan. Rivalitas dalam sepak bola mudah sekali dibajak oleh sentimen identitas yang menyesatkan. Dalam teori psikologi sosial, frustrasi dalam hidup masyarakat adalah akar dari perilaku agresif suporter. Sindhunata, dalam Air Mata Bola (2002), menyatakan bahwa pertandingan sepak bola kerap dijadikan alat penyalur agresivitas. Pasalnya, sepak bola kuasa mempersuakan dua kelompok berbeda yang saling bertentangan dalam kuantitas yang sarat.
Sementara itu, psikolog UGM, Koentjoro, menjelaskan, tindakan barbar maupun vandalisme yang dilakukan oleh suporter sepak bola terjadi karena dipengaruhi oleh ‘jiwa massa’. Koentjoro menyampaikan bahwa seseorang atau individu dapat bersikap berbeda saat berada di tengah massa atau gerombolan. Ketika berada di tengah massa, individu akan terdorong untuk melakukan tindakan yang tidak akan dilakukan saat sedang sendiri.
Kode etik, manifesto, dan nilai-nilai luhur yang terpatri dalam kultur tribune—sebagaimana ditabalkan oleh suporter Solo, Sleman, dan Yogyakarta—dapat mengontrol ‘jiwa massa’ yang mengarah pada agresivitas barbar. Dengan demikian, pengejawantahan gairah, adrenaline, dan spontanitas suporter tetap selaras dengan akal sehat dan nilai kemanusiaan.
Fans Persis dan PSIM tentu bukan agen perdamaian yang tanpa cacat. Mereka juga pernah terlibat friksi dengan suporter lain tatkala mengawal klub kebanggaannya berlaga. Namun demikian, mentalitas fans Persis dan PSIM dalam meredefinisi rivalitas tentu layak menjadi preseden bagi suporter lain. Apalagi induk organisasi sepak bola tampak begitu alergi untuk memberikan kepercayaan bagi persuaan antar-suporter.
Baca Juga: 5 Fakta Menarik Derby Mataram: Dihantui Catatan Merah, Wajib Jaga Gengsi dan Harga Diri
Pencinta sepak bola Indonesia sudah terlalu lama dipaksa percaya bahwa laga Persija kontra Persib mustahil menghadirkan dua kubu suporter dalam satu stadion. Begitu pula Derbi Jawa Timur: Persebaya lawan Arema, yang terus terbelenggu trauma, tanpa ada keberanian meretas jalan damai. Jika dua rivalitas itu masih berkutat pada dendam dan paranoia, biarkan Derbi Mataram menjadi teladan tentang bagaimana rivalitas seyogianya diejawantahkan.
Derbi Mataram punya misi moral yang jauh lebih besar dari sekadar perebutan tiga angka. Muara Derbi Mataram bukan sekadar pada legasi ‘Mataram itu Merah’ atau ‘Biru’. Derbi Mataram kali ini membawa harapan dan teladan bahwa rivalitas dapat dirayakan dengan sukacita.
Ardian Nur Rizki
Penulis Pustaka Sepak Bola Surakarta
Baca berita Sambernyawa.com lainnya di Google News